Rabu, 31 Desember 2008

politik

Kesempatan luas kepada siapa saja untuk terjun dalam kancah politik. Lahirnya partai politik di tanah air, adalah indikasi bahwa reformasi yang bermuara kepada terbukanya kebebasan berdemokrasi telah dan akan terus berjalan. Partisipasi rakyat dalam euforia kebebasan berdemokrasi menjadi lumrah adanya, termasuk peran serta kalangan ulama dalam perhelatan ini.
Para ulama, baik secara terang-terangan atau bermain di balik layar, akhirnya banyak terlibat dalam partai politik. Padahal, perjalanan pahit kerap kali dipertontonkan kepada kita, ulama cenderung ditinggalkan ketika kekuasaan sebagai tujuan utama dalam berpolitik telah terwujud. Pengalaman juga menunjukkan, ulama sering ditinggalkan bahkan nasihatnya pun untuk penguasa sering dianggap duri yang harus disingkirkan. Tetapi seperti tidak pernah ada penyesalan, sebagian ulama pun asyik berkutat di wilayah ini, bahkan menjadi penyokong suara yang perlu diperhitungkan dalam setiap pesta demokrasi di negeri ini.
Dalam konteks Aceh misalnya, para penyokong spiritual sejumlah partai lokal juga dipenuhi oleh sejumlah ulama kharismatik. Percaya atau tidak, meski jauh-jauh hari di Muktamar Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) para ulama telah berazam (janji) untuk tidak turun berpolitik. Toh akhirnya, kesepakatan itu, tidak berjalan seperti yang diharapkan semula. Banyak diantaranya, yang secara terang- terangan kembali berkecimpung dalam kegiatan politik praktis. Atau bahkan berperan sebagai arsitek untuk sebuah partai lokal









di Aceh. Keputusan itu, tentu bukan tanpa alasan,
semuanya sudah dibahas secara matang.
Kehadiran figur ulama dalam sebuah partai cukup ampuh untuk menyedot emosi massa. Untuk itu, tidak heran jika sejumlah fungsionaris partai baik lokal maupun nasional mulaimelirik sejumlah ulama kharismatik untuk bergabung di partainya. Sebuah komunitas ulama pun ramai-ramai dibentuk menjelang perhelatan pemilu 2009 mendatang.
Peran serta ulama dalam wilayah politik praktis, banyak dipersoalkan, termasuk juga membingungkan umat yang dalam keseharian telah mendaulatnya sebagai panutan. Selain itu, aspek kefiguran akan sedikit memudar ketika ulama telah menjelma sebagai figur politikus. Sesuatu yang lumrah adanya, mengingat pergerakan partai politik sering kali tidak luput dari praktek kotor berselimut kebebasan demokrasi.
Dalam sistem kapitalis, partai memang harus concern pada kekuasaan. Itu konsekuensi ideologis. Saat pemilu masing-masing partai berlomba untuk menjadi pemenang. Ketika kalah pun, partai tersebut menjelma sebagai oposan dengan harapan di pemilu berikutnya menjadi pemenang dan menjadi partai yang berkuasa. Lazimnya, untuk tujuan itu tidak ada cara yang diharamkan; semua boleh-money politics, konspirasi, dan sebagainya. Di sebagian dayah atau pesantren bahkan ada guyonan, "Kalau di Pesantren pakai Tafsîr Jalâlayn, tapi kalau di partai politik pakai `tafsir jalan lain'."
Melihat kenyataan ini, rakyat juga harus dewasa dan jeli menentukan hak pilihnya. Jangan hanya karena ada tokoh ulama yang bercokol di sebuah partai lalu menjadikannya pilihan. Perlu kejujuran menentukan pilihan termasuk kejujuran menilai ulama, apakah dia ulama yang berpolitik atau politikus yang mendadak menjadi ulama setiap menjelang pemilu.
KH Mustofa Bisri (dalam TEMPO Interaktif, Jakarta) menilai wajah perpolitikan Indonesia sangat buruk, sehingga siapapun yang terlibat akan tercemarkan. Akibatnya, tak ada kepercayaan sama sekali kepada kiai yang ikut terlibat dalam politik, karena semua kiai dianggap tersangkut paut pada politik yang buruk.
Mereka, lanjut Mustofa, tidak tahu bahwa kiai itu macem-macem. “Ada kiai produk masyarakat, kiai produk pemerintah, produk pers, produk politisi dan kiai produk sendiri,” jelasnya.
Bagi sebagian kalangan lain, kiai seharusnya tidak masuk ke kubangan politik praktis, dan tetap berkonsentrasi di bidang keagamaan dan keumatan. Alasannya, kiai adalah lembaga sakral, berdimensi gerakan moral yang penuh nilai keikhlasan, tanpa tendensi dan ambisi, serta menjadi payung semua golongan (rahmatan lil’alamin). Sementara politik bersifat profan yang meniscayakan adanya kepamrihan, tendensius, dan kepentingan sesaat serta memiliki orientasi perjuangan yang sempit hanya pada kelompok tertentu, yakni massa pendukungnya. 
Menurut salah seorang santri Alumnus Ma’had al-’Ulumisy Syar’iyyah Yanbu’ul Qur’an (MUSYQ) Kudus, bahwa Kiai yang berpolitik dikhawatirkan akan terjebak pada logika politik (the logic of politics) memanipulasi masyarakat basisnya demi kepentingan politik sesaat, yang pada gilirannya menggiring ke arah logika kekuasaan (the logic of power) yang cenderung kooptatif, hegemonik, dan korup. Akibatnya, kekuatan logika (the power of logic) yang dimiliki kiai, seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian akan tereduksi atau bahkan hilang sama sekali, terkalahkan oleh logika kekuasaan tadi.
Dalam sistem masyarakat demokrasi, siapa pun berhak untuk berserikat dan berpolitik. Hanya saja, hendaknya tidak semua kiai berpolitik. Kalau kiainya sangat ‘lugu’ dan sufistik, serta dipandang lebih bermanfaat bagi masyarakat dengan gerakan ‘politik independen’, alangkah baiknya tetap di dunia pesantren mencetak ilmuwan-ilmuwan muslim yang unggulan atau menjadi transformator masyarakat dengan semai kesejukannya mengawal moral bangsa.
Alhasil, terjun atau tidak ke politik sepenuhnya bergantung pada asas manfaat dan ketahanan diri kiai menghadapi godaan materi dan hegemoni. Apakah keberadaannya dalam peran-peran politik dapat menciptakan harmoni yang dinamis dan keberpihakan kepada kepentingan universal, ataukah justru menciptakan dis-harmoni yang statis dan keberpihakan kelompok (partai) atau bahkan peneguhan kepentingan pribadi? 
Pesona politik terkadang memang membuat seseorang kehilangan idealismenya. Dulu, bisa saja seseorang menolak bahkan ‘mengharamkan’ dirinya bersentuhan dengan politik. Namun, karena ada kepentingan semisal materi, hegemoni, prestise, dan kelancaran birokrasi, maka tak terelakkan lagi keterlibatan mereka dalam politik praktis.
Terjun ke politik (kekuasaan) memang besar taruhannya. Bisa jadi agama dan politik bukan lagi pemersatu, tetapi menjadi faktor pemecah persatuan dan persaudaraan. Umat dan agama akan diseret ke politisasi yang paling pragmatis. Jatuh ke jurang politik rendahan (low politics) dan tidak bermoral. Akibatnya, Islam tidak lagi Islami dan keteladanan moral pun tak lagi didapati. Pendapat Ketua PBNU Said Aqil Siradj nampaknya perlu kita renungkan. Menurut beliau, kiai boleh berpolitik (praktis) sejauh dilakukan secara profesional dan proporsional. Profesional mengandung pengertian kemampuan dan etika. Sementara proporsional berarti jika sang kiai mengasuh pesantren atau menjadi tokoh sentral pengajian rutin di masyarakat, yang bersangkutan hendaknya bisa membagi waktu dengan baik dan menghindari terjadinya konflik kepentingan. 




























Kesempatan luas kepada siapa saja untuk terjun dalam kancah politik. Lahirnya partai politik di tanah air, adalah indikasi bahwa reformasi yang bermuara kepada terbukanya kebebasan berdemokrasi telah dan akan terus berjalan. Partisipasi rakyat dalam euforia kebebasan berdemokrasi menjadi lumrah adanya, termasuk peran serta kalangan ulama dalam perhelatan ini.
Para ulama, baik secara terang-terangan atau bermain di balik layar, akhirnya banyak terlibat dalam partai politik. Padahal, perjalanan pahit kerap kali dipertontonkan kepada kita, ulama cenderung ditinggalkan ketika kekuasaan sebagai tujuan utama dalam berpolitik telah terwujud. Pengalaman juga menunjukkan, ulama sering ditinggalkan bahkan nasihatnya pun untuk penguasa sering dianggap duri yang harus disingkirkan. Tetapi seperti tidak pernah ada penyesalan, sebagian ulama pun asyik berkutat di wilayah ini, bahkan menjadi penyokong suara yang perlu diperhitungkan dalam setiap pesta demokrasi di negeri ini.
Dalam konteks Aceh misalnya, para penyokong spiritual sejumlah partai lokal juga dipenuhi oleh sejumlah ulama kharismatik. Percaya atau tidak, meski jauh-jauh hari di Muktamar Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) para ulama telah berazam (janji) untuk tidak turun berpolitik. Toh akhirnya, kesepakatan itu, tidak berjalan seperti yang diharapkan semula. Banyak diantaranya, yang secara terang- terangan kembali berkecimpung dalam kegiatan politik praktis. Atau bahkan berperan sebagai arsitek untuk sebuah partai lokal









di Aceh. Keputusan itu, tentu bukan tanpa alasan,
semuanya sudah dibahas secara matang.
Kehadiran figur ulama dalam sebuah partai cukup ampuh untuk menyedot emosi massa. Untuk itu, tidak heran jika sejumlah fungsionaris partai baik lokal maupun nasional mulaimelirik sejumlah ulama kharismatik untuk bergabung di partainya. Sebuah komunitas ulama pun ramai-ramai dibentuk menjelang perhelatan pemilu 2009 mendatang.
Peran serta ulama dalam wilayah politik praktis, banyak dipersoalkan, termasuk juga membingungkan umat yang dalam keseharian telah mendaulatnya sebagai panutan. Selain itu, aspek kefiguran akan sedikit memudar ketika ulama telah menjelma sebagai figur politikus. Sesuatu yang lumrah adanya, mengingat pergerakan partai politik sering kali tidak luput dari praktek kotor berselimut kebebasan demokrasi.
Dalam sistem kapitalis, partai memang harus concern pada kekuasaan. Itu konsekuensi ideologis. Saat pemilu masing-masing partai berlomba untuk menjadi pemenang. Ketika kalah pun, partai tersebut menjelma sebagai oposan dengan harapan di pemilu berikutnya menjadi pemenang dan menjadi partai yang berkuasa. Lazimnya, untuk tujuan itu tidak ada cara yang diharamkan; semua boleh-money politics, konspirasi, dan sebagainya. Di sebagian dayah atau pesantren bahkan ada guyonan, "Kalau di Pesantren pakai Tafsîr Jalâlayn, tapi kalau di partai politik pakai `tafsir jalan lain'."
Melihat kenyataan ini, rakyat juga harus dewasa dan jeli menentukan hak pilihnya. Jangan hanya karena ada tokoh ulama yang bercokol di sebuah partai lalu menjadikannya pilihan. Perlu kejujuran menentukan pilihan termasuk kejujuran menilai ulama, apakah dia ulama yang berpolitik atau politikus yang mendadak menjadi ulama setiap menjelang pemilu.
KH Mustofa Bisri (dalam TEMPO Interaktif, Jakarta) menilai wajah perpolitikan Indonesia sangat buruk, sehingga siapapun yang terlibat akan tercemarkan. Akibatnya, tak ada kepercayaan sama sekali kepada kiai yang ikut terlibat dalam politik, karena semua kiai dianggap tersangkut paut pada politik yang buruk.
Mereka, lanjut Mustofa, tidak tahu bahwa kiai itu macem-macem. “Ada kiai produk masyarakat, kiai produk pemerintah, produk pers, produk politisi dan kiai produk sendiri,” jelasnya.
Bagi sebagian kalangan lain, kiai seharusnya tidak masuk ke kubangan politik praktis, dan tetap berkonsentrasi di bidang keagamaan dan keumatan. Alasannya, kiai adalah lembaga sakral, berdimensi gerakan moral yang penuh nilai keikhlasan, tanpa tendensi dan ambisi, serta menjadi payung semua golongan (rahmatan lil’alamin). Sementara politik bersifat profan yang meniscayakan adanya kepamrihan, tendensius, dan kepentingan sesaat serta memiliki orientasi perjuangan yang sempit hanya pada kelompok tertentu, yakni massa pendukungnya. 
Menurut salah seorang santri Alumnus Ma’had al-’Ulumisy Syar’iyyah Yanbu’ul Qur’an (MUSYQ) Kudus, bahwa Kiai yang berpolitik dikhawatirkan akan terjebak pada logika politik (the logic of politics) memanipulasi masyarakat basisnya demi kepentingan politik sesaat, yang pada gilirannya menggiring ke arah logika kekuasaan (the logic of power) yang cenderung kooptatif, hegemonik, dan korup. Akibatnya, kekuatan logika (the power of logic) yang dimiliki kiai, seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian akan tereduksi atau bahkan hilang sama sekali, terkalahkan oleh logika kekuasaan tadi.
Dalam sistem masyarakat demokrasi, siapa pun berhak untuk berserikat dan berpolitik. Hanya saja, hendaknya tidak semua kiai berpolitik. Kalau kiainya sangat ‘lugu’ dan sufistik, serta dipandang lebih bermanfaat bagi masyarakat dengan gerakan ‘politik independen’, alangkah baiknya tetap di dunia pesantren mencetak ilmuwan-ilmuwan muslim yang unggulan atau menjadi transformator masyarakat dengan semai kesejukannya mengawal moral bangsa.
Alhasil, terjun atau tidak ke politik sepenuhnya bergantung pada asas manfaat dan ketahanan diri kiai menghadapi godaan materi dan hegemoni. Apakah keberadaannya dalam peran-peran politik dapat menciptakan harmoni yang dinamis dan keberpihakan kepada kepentingan universal, ataukah justru menciptakan dis-harmoni yang statis dan keberpihakan kelompok (partai) atau bahkan peneguhan kepentingan pribadi? 
Pesona politik terkadang memang membuat seseorang kehilangan idealismenya. Dulu, bisa saja seseorang menolak bahkan ‘mengharamkan’ dirinya bersentuhan dengan politik. Namun, karena ada kepentingan semisal materi, hegemoni, prestise, dan kelancaran birokrasi, maka tak terelakkan lagi keterlibatan mereka dalam politik praktis.
Terjun ke politik (kekuasaan) memang besar taruhannya. Bisa jadi agama dan politik bukan lagi pemersatu, tetapi menjadi faktor pemecah persatuan dan persaudaraan. Umat dan agama akan diseret ke politisasi yang paling pragmatis. Jatuh ke jurang politik rendahan (low politics) dan tidak bermoral. Akibatnya, Islam tidak lagi Islami dan keteladanan moral pun tak lagi didapati. Pendapat Ketua PBNU Said Aqil Siradj nampaknya perlu kita renungkan. Menurut beliau, kiai boleh berpolitik (praktis) sejauh dilakukan secara profesional dan proporsional. Profesional mengandung pengertian kemampuan dan etika. Sementara proporsional berarti jika sang kiai mengasuh pesantren atau menjadi tokoh sentral pengajian rutin di masyarakat, yang bersangkutan hendaknya bisa membagi waktu dengan baik dan menghindari terjadinya konflik kepentingan. 

Tidak ada komentar: