BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menyikapi perkembangan IPTEK yang begitu pesat tentunya akan membawa dampak baik itu negative maupun positive oleh karenanya masyarakat dituntut untuk mampu memfilter segala sesuatu yang masuk ke dalam negara kita tanpa mengurangi esensi nilai- nilai yang termaktub dalam undang-undang dasar kita.
Ketika kita melihat beberapa hal yang menyangkut HAM banyak sekali masyarakat kita yang masih terinjak-injak harkat dan martabatnya serta dipandang sebelah mata oleh bangsa lain. Tentunya sebagai bangsa yang berdaulat kita harus mampu menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta menegakkan Hak Asasi Manusia baik didalam negeri maupun diluar negeri. Hal itu menunjukkan bahwa negara kita masih harus merevitalisasi paradigma tentang Hak Asasi Manusia itu sendiri karena kebanyakan masyarakat indonesia pada umumnya masih kurang sekali terhadap pemahaman tentang Hak- hak mereka. Itulah yang beberpa hal yang nantinya akan menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Pada saat ini HAM telah menjadi issue global, yang tidak mungkin diabaikan dengan dalih apapun termasuk di Indonesia. Konsep dan implementasi HAM di setiap negara tidak mungkin sama, meskipun demikian sesungguhnya sifat dan hakikat HAM itu sama. Dalam hal ini, ada tiga konsep dan model pelaksanaan HAM di dunia yang dianggap mewakili, masing-masing di negara-negara Barat, Komunis-Sosialis dan ajaran Islam. Adanya HAM menimbulkan konsekwensi adanya kewajiban asasi, di mana keduanya berjalan secara paralel dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pengabaian salah satunya akan menimbulkan pelanggaran HAM itu sendiri. Khusus tentang implementasi HAM di Indonesia, meskipun ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia dan belum kondusifnya mekanisme penyelesaiannya. Akan tetapi secara umum baik menyangkut perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan tanda-tanda kemajuan pada akhir-akhir ini. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi hukum HAM melalui peraturan perundang-undangan serta dibentuknya Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Sejauh apakah masyarakat Indonesia mengetahui tentang hak asasi manusia?
2. Seberapa penting hak asasi manusia dalam ranah pemerintahan di Indonesia?
3. Sejauh mana pemerintah mampu menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi manusia?
4. Apakah hak asasi manusia benar-benar sudah diterapkan sesuai dengan Undang-Undang?
1.3 Tujuan Permasalahan
1. Pentingnya menjunjung tinggi hak asasi manusia di Indonesia.
2. Perlunya pemahaman warga negara tentang hak asasi manusia.
3. Perlunya keseimbangan antara hak asasi manusia dan kebijakan pemerintah.
4. perlunya penerapan hak asasi manusia yang sesuai dengan Undang-Undang.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Hak Asasi Manusia
A. Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat dan dimilki setiap mnanusia sebadai anugrah tuhan yang maha esa. Mustufa kemal pasha(2002) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hak asasi manusia ialah hak-hak dasar yang sibawa manusia sejak lahir yang melekat pada esensinya sebagai anugarah Alloh SWT. Pendapat lain yang senada menyatakan bahwa Hak asasi manusia ialah hak-hak dasar yang dibawa sejak lahir dan melekat dangsn potensinya sebagai mahkluk dan wakil Tuhan (Gazalli,2004). Rumusan ”sejak lahir” sekarang dipertanyakan karena bayi yang masih asa dalam kandungan sudah memiliki hak untuk hidup. Oleh karena itu, rumusan yang lebih sesuai adalah hak dasar yang melekat pada manusia sejak dia hidup.
Menurut Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang HAM dalam pasal 1 Hak Asasi Manusia adaläh : seperangkat hak yang melekat pada hakikát dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demikehormatan dan perlindunganharkat dan martabat manusia.
Dengan demikian, kesadaran manusia akan hak asasi manusia ada karena pengakuan atas harkat dan martabat yang sama sebagai manusia. Selama belum mengakui adanya persamaan harkat dan martabat manusia maka hak asasi manusia belum bisa ditegakkan. Pada masa lalu manusia banyak yang belum mengakui derajat manusia lain. Akibatnya, banyak terjadi penindasan manusia oleh manusia lain. Misalnya penjajahan, perbudakan, dan penguasaan.
Dalam pengkajian tentang hak-hak asasi manusia, sejarah hak asasi manusia itu dimulai di Inggris dengan lahirnya magna charta (1215), yaitu perlindungan tetang kaum bangsawan dan gereja. Pada tahun 1776 di Amerika Serikat terdapat declaration of Independence (deklarasi kemerdekaan) yang didalamnya memuat hak asasi manusia dan hak asasi warga negara. Perkembangan selanjutnya adalah setelah revolusi Prancis, di Prancis tuntutan tentang hak-hak asasi manusia dan warga negara dengan semboyannya kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan (Wijaja, 1996).
Secara definitif, hak artinya kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu diluar dirinya (Surya Kusuma, 1986). Istilah hak asasi manusia bermula dari barat yang dikenal dengan right of man untuk mengantikan natural right karena istilah right of man tidak mencakup right of woman maka oleh Eleanor roosevelt diganti dengan human right yang lebih universal dan netral (Ghazalli, 2004).
B. Macam-macam Hak Asasi Manusia
1. Menurut undang-undang no 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia meliputi:
a. Hak anak
b. Hak atas kebebasan pribadi
c. Hak atas kesejahteraan
d. Hak atas rasa aman
e. Hak berkeluarga melanjutkan keturunan
f. Hak mengembangkan diri
g. Hak turut serta dalam pemerintahan
h. Hak untuk hidup
i. Hak wanita
2. Hak asasi manusia menurut piagam PBB tentang deklarasi Universal of Human Rights 1948, meliputi
a. Hak berpikir dan mengeluarkan pendapat
b. Hak memiliki sesuatu
c. Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran
d. Hak menganut aliran kepercayaan atau agama
e. Hak untuk hidup
f. Hak untuk kemerdekaan hidup
g. Hak untuk memperoleh nama baik
h. Hak untuk memperoleh pekerjaan
i. Hak untuk mendapatkan perlindungan hokum
3. Hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan Menjadi sebagai berikut:
a. Hak-hak asasi pribadi (personal rights)
Yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, dankebebasan bergerak
b. Hak-hak asasi ekonomi (property rights),
Yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
c. Hák-hak asasi politik (political rights),
Yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan umum), dan hak untuk mendirikan partai politik.
d. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (rights of legal equality).
e. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan (social and culture rights).
Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan hak untuk mengembangkan kebudayaan.
f. Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata-cara peradilan dan perlindungan (procedural rights)
Misalnya, peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.
2.2 Masalah Hak Asasi Manusia di Indonesia
A. Kasus-kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Dari banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, kami akan mengambil dua cohtoh kasus pelanggaran berat HAM yang menurut kami sangatlah penting, dikarenakan permasalahan ini menyangkut kehidupan masyarakat luas dan tidak adanya ketegasan dari pihak pemerintah. Dua kasus tersebut adalah:
1. Kasus Lumpur lapindo
Sidang Paripurna Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akhirnya secara aklamasi menyetujui rekomendasi Tim Investigasi Kasus Lumpur Lapindo untuk membentuk Tim Penyelidikan Proyustisia berdasarkan Undang-Undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM atas Peristiwa Lumpur Panas Lapindo. Tim investigasi yang bekerja sejak April 2008 ini merupakan tim investigasi ke-3 dan dibentuk berdasarkan UU No.39 tahun 1999 tentang HAM. Setelah melakukan invetigasi dan analisis, tim ini berkesimpulan telah terjadi pelanggaran HAM dalam kasus lumpur Lapindo. Setidaknya ada limabelas (15) hak yang terlanggar yaitu hak hidup, hak atas rasa aman, hak atas informasi, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak pekerja, hak atas pendidikan, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas kesejahteraan, hak atas jaminan sosial, hak-hak pengungsi, hak-hak kelompok rentan.
Komnas HAM mengganggap bahwa kasus semburan lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur ini, diduga bukanlah disebabkan oleh bencana alam akibat gempa di Yogyakarta. Keputusan sidang paripurna Komnas HAM yang merekomendasikan untuk segera dibentuk Tim Projustisia untuk kasus yang lebih bernuansa ke pelanggaran hak ekosob ini merupakan suatu hal yang baru dalam ranah hukum HAM di Indonesia. Hal ini merupakan sebuah ijtihad atau tafsir hukum atas kasus lumpur Lapindo. "semua fakta yang ditemukan sudah jelas bahwa telah terjadi pelanggaran HAM seperti yang diatur dalam UU No.39/1999. Dan fakta yang ditemukan oleh tim investigasi dilapangan juga semakin menguatkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dengan adanya ribuan penduduk yang terpaksa eksodus dari akar lingkungan sosial budayanya," demikian ditegaskan oleh Nur Kholis.
Dalam memutuskan hal ini juga bukanlah suatu hal yang mudah bagi Komnas HAM, karena dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, untuk kasus-kasus yang dikenal kejahatan dan kekerasan negara, negara menggunakan kekuatan aparat keamanan, seperti kasus penculikan, pembunuhan massal, pengusiran dan lain-lain dan hal ini merupakan tanggungjawab negara. Namun dalam kasus ini Komnas HAM juga menduga adanya keterlibatan aktor non-negara dalam kasus semburan lumpur panas Lapindo sehingga aktor swasta tersebut harus secara langsung ikut bertanggung jawab dalam hal ini PT Lapindo Brantas.
2. Kasus Salpol PP
Kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan perilaku kekerasan oknum anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) akibat buruknya sistem perekrutan dan pendidikan oleh pemerintah daerah, sehingga kualitas sumber daya manusia (SDM) kurang memadai.
"Sistem prekrutan Satpol PP kami rasa sangat buruk, dan ini sangat tidak mendukung kinerja mereka. Misalnya, anggota Satpol PP hanya direkrut dari karyawan honorer tanpa pendidikan yang memadai atau sistem perekrutan tanpa standar tertentu sehingga kualitas mereka sangat buruk," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Muhammad Irsyad Tamrin, Minggu.
Menurut dia, pada satu sisi dalam era otonomi daerah ini keberadaan Satpol PP memang dibutuhkan untuk menegakkan peraturan daerah, namun di sisi lain justru perilaku oknum Satpol PP ini tidak terkontrol dengan baik sehingga sering melanggar HAM.
"Seharusnya pelaku penegakkan hukum merupakan aparat yang terdidik dengan baik, sehingga aplikasi di lapangan juga profesional. Jadi, banyaknya kejadian yang melibatkan Satpol PP membuktikan bahwa aparat ini tidak profesional," katanya.
Ia mengatakan, munculnya berbagai kasus pelanggaran dan kekerasan yang dilakukan oknum anggota Satpol PP merupakan dampak dari sistem rekrutmen yang tidak jelas.
"Mereka ini bertindak seolah sebagai penguasa dan perintah dari atasan sering dijabarkan menurut persepsi mereka sendiri, sehingga tidak jarang justru terjadi pelanggaran di lapangan," katanya.
Ia mengatakan, masalah ini harus dikembalikan ke pemerintah daerah (pemda), apakah mereka siap untuk merekrut, mendidik dan membina Satpol PP agar lebih profesional."Jika pemda tidak siap maka Satpol PP ini harus dibubarkan karena justru akan menimbulkan banyak pelanggaran HAM dalam upaya penegakan Perda," katanya. Menurut dia, jika pemda ingin terus mempertahankan keberadaan Satpol PP, maka harus mulai menata kembali sistem perekrutan dan pendidikan agar mereka lebih profesional. "Misalnya, jajaran kepolisian sebagai penegak hukum pidana sistem perekrutan melalui jenjang sangat jelas, meskipun masih ada beberapa kekurangan namun setidaknya mereka dapat lebih profesional," katanya.
Dari fakta dan dua contoh pelanggaran HAM di atas dapat diketahui hahwa HAM di Indonesia masih sangat memperiatinkan. HAM yang diseru-serukan sebagai Hak Asasi Manusia yang paling mendasarpun hanya menjadi sebuah wacana dalam suatu teks dan implementasinya pun (pengamalannya) tidak ada. banyak HAM yang secara terang-terangan dilanggar seakan-akan hal tersebut adalah sesuatu yang legal.
B. Permasalahan Penegakkan HAM
Sebagai tanggapan dari contoh diatas. Ibnu (2008) berpendapat bahwa, sangat minimnya penegakan HAM di Indonesia bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Telah terjadi krisis moral di Indonesia.
2. Aparat hukum yang berlaku sewenang-wenang.
3. Kurang adanya penegakan hukum yang benar. Dan masih banyak sebab-sebab yang lain.
Selain faktor-faktor diatas, ada beberapa hambatan-hambatan dalam penegakan HAM di Indonesia, antara lain :
1 Faktor Kondisi Sosial-Budaya.
Konsep hak asasi manusia (HAM) bersifat universal. Namun dalam penerapannya harus memperhitungkan budaya dan tradisi negara setempat. Dalam hal ini budaya dan tradisi setempat merupakan kodrat manusia.
Pendapat itu dikemukakan dua pakar HAM Jerman, Prof Dr Winfried Brugger LLM dan Prof Dr Juliane Kokott LLM serta anggota Komnas HAM BN Marbun SH dalam seminar sehari "Indonesia dan Barat: Dialog Internasional tentang HAM", Selasa (28/11).
2 Faktor Komunikasi dan Informasi
Komunikasi dan Informasi belum dipandang sebagai kebutuhan mendesak. Padahal komunikasi dan informasi yang akurat sangat penting. Keakuratan informasi akan menjadi bahan yang valid untuk dipergunakan oleh berbagai lembaga/institusi dalam mengambil kebijakan. Sehingga ada pernyataan-pernyataan yang sinkron terhadap informasi-informasi yang dipublikasikan oleh lembaga/institusi tersebut.
Data-data tentang HAM rata-rata menginformasikan pelanggaran HAM, bahkan dikemas oleh media, dan data-data inilah yang dikompilasi oleh LSM. Bahkan sampai detik ini, 16 tahun setelah ada Komnas HAM, Indonesia tidak punya data akurat tentang laporan implementasi. Kemiskinan data ini dapat disebabkan antara lain, karena pengarsipan di pemerintahan yang jauh dari memuaskan, serta tidak semua hasil tindakan dan kebijakan pemerintah selama ini tidak direkam. Hal ini dapat berakibat pengambilan keputusan yang tidak tepat sasaran, karena sering tidak dilandasi oleh data yang akurat. Pengumpulan data HAM merupakan salah satu upaya memajukan dan perlindungan HAM, dan sejauh mana negara telah menerapkan HAM, serta merupakan bentuk akuntabilitas publik terhadap setiap tindakan dan kebijakan yang ditetapkan negara.
3 Faktor Kebijakan Pemerintah.
Tidak semua penguasa mempunyai kebijakan yang sama tentang pentingnya hak asasi manusia. Sering kali mereka lupa atau bahkan tidak menghiraukan masalah tentang hak-hak masyarakatdalam menentukan kebijakan. Ada kalanya juga demi kepentingan stabilitas nasional, maupun lokal, persoalan hak asasi manusia sering dinomorduakan. Seperti contohnya kasus Satpol PP yang melakukan penggusuran demi ketertiban kota. Mereka melakukannya tanpa mempertimbangkan hak para masyarakat. Seiring dengan perkembangan hubungan pemerintah dengan masyarakat muncul pertanyaan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, sejauh mana pemerintah dapat diterima oleh masyarakat?
4 Faktor Perangkat Perundangan.
Pemerintahan tidak segera meratifikasi hasil-hasil konvensi internasional tentang hak asasi manusia. Kalaupun ada, peraturan perundang-undangannya tidak melalui proses internalisasi pada saat pembentukan undang-undang terkait dan masih sulit untuk diimplementasikan. Penerimaan dalam bentuk ratifikasi hanya dapat dilakukan dalam hal-hal sangat urgen terkait dengan kepentingan nasional yang mendesak dan setalah dilakukan kajian menyeluruh.
5 Faktor Aparat dan Penindakannya (Law Enforcement).
Penyebab masih banyaknya permasalahan pada birokrasi pemerintahan Indonesia barangkali dikarenakan kurangnya kompetensi yang dimiliki anggota instansi pemerintah, karena tingkat pendidikan dan kesejahteraan sebagian aparat yang dinilai masih belum layak sering membuka peluang ‘jalan pintas’ untuk memperkaya diri.
Ditambah lagi dengan Masih adanya oknum aparat yang secara institusi atau pribadi mengabaikan prosedur kerja yang sesuai dengan hak asasi manusia, apalagi kalau peraturan dan prosedur yang seringkali tidak jelas dan berubah-ubah. Selain itu juga, karena ada unsur hirarki yang kuat pada organisasi yang mengambil bentuk birokrasi, maka mestinya pimpinan-pimpinannya betul-betul pimpinan yang bisa menegakkan aturan dan prosedur. Kita sering jumpai di dalam pelaksanaan tindakan pelanggaran oleh oknum aparat masih diskriminatif, tidak konsekuen, dan tindakan penyimpangan berupa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Sebagaimana yang kerap muncul dalam media, instansi pemerintah begitu banyak disorot karena kasus-kasus in-efektivitas dan in-efisiensi yang terjadi di dalamnya. Berita penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai instansi pemerintah, mulai dari kalangan pegawai pelaksana yang sekadar mengurus administrasi Kartu Penduduk, hingga tataran pejabat yang seharusnya menegakkan amanat rakyat adalah sebagian kecil gambaran tersebut. Kondisi ini memunculkan pandangan bahwa kondisi birokrasi pemerintahan identik dengan segala in-efisiensi dan in-efektivitas.
C. Upaya Pencegahan Pelanggaran HAM di Indonesia
1. Pendekatan Security yang terjadi di era orde baru dengan mengedepankan
upaya represif menghasilkan stabilitas keamanan semu dan berpeluang besar menimbulkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia tidak boleh terulang kembali, untuk itu supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan, pendekatan hukum dan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini terbukti tidak memuaskan masyarakat, bahkan berdampak terhadap timbulnya berbagai pelanggaran hak asasi manusia, untuk itu desentralisasi melalui otonomi daerah dengan
penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu dilanjutkan, otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi ketidakadilan tidak boleh berhenti, melainkan harus ditindaklanjutkan dan dilakukan pembenahan atas segala kekurangan yang terjadi.
3. Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan cara mengadakan reformasi di bidang struktural, infromental, dan kultular mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan public untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah.
4. Perlu penyelesaian terhadap berbagai Konflik Horizontal dan Konflik Vertikal di tanah air yang telah melahirkan berbagai tindakan kekerasan yang pelanggar hak asasi manusia baik oleh sesama kelompok masyarakat dengan acara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil, dan menyeluruh.
5. Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang sama bagi semua hak asasi manusia di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, sipil, dan bidang lainnya, termasuk hak untuk hidup, persamaan, kebebasan dan keamanan pribadi, perlindungan yang sama menurut hukum, bebas dari diskriminasi, kondisi kerja yang adil. Untuk itu badan-badan penegak hukum tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap perempuan, lebih konsekuen dalam mematuhi Konvensi Perempuan sebagaimana yang telah diratifikasi dalam Undang undang No.7 Tahun 1984, mengartikan fungsi Komnas anti Kekerasan Terhadap Perempuan harus dibuat perundang-undangan yang memadai yang menjamin perlindungan hak asasi perempuan dengan mencantumkan sanksi yang memadai terhadap semua jenis pelanggarannya.
6. Anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan manfaat dari
semua jaminan hak asasi manusia yang tersedia bagi orang dewasa. Anak harus diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang memudahkan mereka berintraksi di dalam masyarakat, anak tidak boleh dikenai siksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, pemenjaraan atau penahanan terhadap anak merupakan tindakan ekstrim terakhir, perlakuan hukum terhadap anak harus berbeda dengan orang dewasa, anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana phisik dan psikologis yang memungkinkan anak berkembang secara normal dan baik, untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi anak, setiap pelanggaran terhadap aturan harus ditegakan secara profesional tanpa pandang bulu.
7. Supremasi hukum harus ditegakkan, sistem peradilan harus berjalan dengan
baik dan adil, para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban tugas yang dibebankan kepadanya dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat pencari keadilan, memberikan perlindungan kepada semua orang dari perbuatan melawan hukum, menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan hukum.
8. Perlu adanya kontrol dari masyarakat (Social control) dan pengawasan dari
lembaga politik terhadap upaya-upaya penegakan hak asasi manusia yang
dilakukan oleh pemerintah.
2.3 Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia
Terkait dengan implementasi HAM, ada dua aspek yang harus diperhatikan dalam pembentukan perundang-undangan yaitu pertama berkaitan dengan proses dan kedua berkaitan dengan substansi yang diatur peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan dengan transparan dan melibatkan rakyat untuk memenuhi hak asasi warga negara untuk memperoleh informasi dan hak warga negara berpatisipasi dalam pemerintahan.
Sehubungan dengan substansi peraturan perundang-undangan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan. Pertama; pengaturan yang membatasi HAM hanya dapat dilakukan dengan undang-undang dan terbatas yang diperkenankan sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Karena itu Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan seterusnya pada tingkat bawah tidak dapat membatasi HAM. Kedua; substansi peraturan perundang-undangan harus selalu sesuai atau sejalan dengan ketentuan-ketentuan HAM yang ada dalam UUD 1945.
Pelanggaran terhadap salah satu saja dari kedua aspek tersebut dapat menjadi alasan bagi seseorang, badan hukum atau masyarakat hukum adat untuk menyampaikan permohonan pengujian terhadap undang-undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi dan jika bertentangan dengan UUD dapat saja undang-undang tersebut sebahagian atau seluruh dinyatakan tidak berkekuatan mengikat. Jadi mekanisme kontrol terhadap kekuasaan negara pembentuk undang-undang dilakukan oleh rakyat melalui Mahkamah Konstitusi. Dengan proses yang demikian menjadikan UUD kita menjadi UUD yang hidup, dinamis dan memiliki nilai praktikal yang mengawal perjalanan bangsa yang demokratis dan menghormati HAM.
Terkait dengan langkah meratifikasi berbagai konvensi internasional mengenai HAM. Penerimaan konvensi atau perjanjian internasional lainnya dalam bentuk ratifikasi kadang-kadang menimbulkan masalah dalam implementasi karena tidak seluruh ketentuan-ketentuan dalam konvensi sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut bangsa Indonesia. Akan lebih baik jika proses penerimaan nilai-nilai HAM itu melalui proses internalisasi pada saat pembentukan undang-undang terkait. Penerimaan dalam bentuk ratifikasi hanya dapat dilakukan dalam hal-hal sangat urgen terkait dengan kepentingan nasional yang mendesak dan setalah dilakukan kajian menyeluruh.
Demikian juga pandangan agar dilakukan penyelidikan dan pengkajian secara khusus terhadap berbagai undang-undang dan peraturan lainnya yang tidak sejalan dengan HAM. Pengujian dan peninjauan terhadap berbagai undang-undang dan peraturan lainnya akan hidup dengan sendirinya dan terus menerus dilakukan oleh masyarakat sipil melalui mekanisme pengujian undang-undang. Disini pulalah peranan KOMNAS HAM sangat diharapkan untuk mengkaji perundang-perundangan yang tidak sejalan dengan HAM itu untuk diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk dibatalkan. Jadi proses legislasi sekarang ini tidak lagi monopoli DPR dan Pemerintah (khususnya untuk menyatakan tidak berlakunya satu atau bagian dari satu undang-undang), tetapi juga oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebagian besar permohonan pengujian terhadap undang-undang yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi hingga sekarang ini didasarkan pada ketentuan pasal-pasal HAM itu. Karena itu, dalam setiap pembentukan undang-undang pemerintah dan DPR harus memperhatikan dengan seksama ketentuan-ketentuan HAM yang diatur dalam UUD 1945, agar tidak menimbulkan masalah yang komplek ketika jika Mahkmah Konstitusi menyatakan tidak berlakuanya suatu undang-undang karena bertentangan dengan konstitusi.
A. Masalah Implementasi
Jika dibandingkan dengan implementasi hak-hak sipil dan politik, maka implementasi hak-hak sosial dan ekonomi jauh lebih sulit. Aspek inilah yang banyak terabaikan di Indonesia baik diakibatkan karena masalah kemampuan ekonomi negara maupun karena kesadaran warga negara atas haknya yang dijamin konstitusi.
Berbeda dengan hak-hak sipil dan politik yang dengan mudah bisa dilihat dan dirasakan adanya pelanggaran hak itu melalui legislasi yaitu adanya pembatasan dan pelarangan atas peleksanaan hak, yang dapat segera direhabilitasi dengan mengajukan pengujian terhadap undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi atau peradilan lainnya. Sedangkan untuk penggaran terhadap hak-hak sosial-ekonomi melalui legislasi lebih sulit terdeteksi adanya pembatasan-pembatasn yang secara tegas dilakukan yang melanggar hak-hak sosial eknomi. Hak-hak sosial ekonomi lebih banyak meminta perhatian dan tanggung jawab negara terutma pemerintah untuk implemntasinya. Misalnya hak memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, hak membentuk keluarga, hak kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, hak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, adalah hak-hak yang implementasinnya meminta perhatian dan tanggung jawab pemerintah. Disinilah peranan masyarakat sipil dan sosialisasi pemahaman dan kesadaran atas hak-hak tersebut menjadi sangat penting. Pendidikan dan edukasi terhadap hak-hak sosial dan ekonomi tidak mungkin diharapkan dari pemerintah, karena pemerintah selalu mencari alasan untuk menghindari tanggung jawab karena komplesitas masalah yang dihadapi.
B. Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
Menurut Hamdan Zoelva, S.H., M.H (2008), peradilan terhadap pelanggaran HAM berat harus berdasarkan keadilan hukum atau justice according to law. Apalagi sekarang ini pelanggaran HAM berat adalah termasuk pelanggaran atas hukum pidana internasional yang dapat menjadi kewenangan Mahkamah Pidana Internasional dan suka atau tidak suka masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan serta mengadili perkara tersebut, Karena itu, ketika sebuah perkara pelanggaran HAM berat dibawa kepada pengadilan, maka peradilan HAM kita harus bekerja secara professional dan tidak memutuskan perkara-perkara tersebut dengan pertimbangan politik dan kompromi serta impunity.
Walaupun demikian, dengan adanya undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang dimiliki oleh Indonesia, penyelesaian perkara-perkara pelanggaran HAM berat pada masa lalu tidak selalu harus dengan proses ajudikasi berdasarkan prinsip-prinsip aliran Kantian. pemerintah juga perlu mempertimbangan penyelesaian non-ajudikasi dengan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mengikuti prinsip-prinsip utilitarian dari Jeremy Bentham, dengan mempertimbangkan kesatuan nasional dan keseimbangan (equalibrum).
Hamdan juga kurang begitu bahwasannya DPR tidak dapat melakukan interpretasi politik dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti kasus Trisakti dan Semanggi. Menurut pandangan beliau, secara prinsip suatu pelanggaran pidana tidak dapat diadili secara retroaktif, akan tetapi dalam hal-hal tertentu misalnya dalam hal pelanggaran HAM berat prinsip pemberlakuan surut itu dimungkin dengan syarat-syarat dan batasan tertentu. Disinilah asal usul lahirnya Pasal 43 ayat (2) UU No.26 Tahun 2000, yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengusulkan suatu kasus pelanggaran HAM berat yang berlaku surut. Dengan penyerahan kewenangan pengusulan ini kepada DPR, berarti penyerahan kepada institusi politik yang tidak bisa dihindari akan melakukan interpretasi politik. Jadi menurut kami, pemebentuk undang-undang dengan sengaja memberikan peluang interpretasi politik apakah layak atau tidak layak suatu pelanggaran HAM berat masa lalu diajukan ke pengadilan HAM.
Beliau juga memberikan kesimpulan bahwa masih banyak yang harus kita lakukan dalam rangka implementasi HAM dalam UUD ini, akan tetapi saya yakin bahwa dengan perangkat yang disediakan oleh UUD saya selalu optmis bahwa ke depan impelementasi HAM di Indonesia akan terus lebih baik walupun harus dengan proses panjang, karena HAM itu sendiri selalu dinamis berkembang sesuai kondisi dan situasi masyarakat.
C. Konsekuensi Implementasi HAM dalam UUD 1945
Berkaitan dengan pencantuman 10 Pasal HAM pada perubahan UUD 1945, ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan.
Pertama, Pencantuman HAM dalam perubahan UUD 1945 dari Pasal 28A s/d Pasal 28J UUD 1945, tidak lepas dari situasi serta tuntutan perubahan yang terjadi pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, yaitu tuntutan untuk mewujudkan kehidupan demokrasi, penegakkan supremasi hukum, pembatasan kekuasaan negara serta jaminan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai antitesa dari berbagai kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mengabaikan aspek-aspek tersebut. Sebenarnya, sebelum perubahan UUD 1945, pada tahun 1988-1990 yaitu pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, telah dikeluarkan Ketetapan MPR RI No. XVII/1998 mengenai Hak Asasi Manusia yang didalamnya tercantum Piagam HAM Bangsa Indonesia dalam Sidang Istimewa MPR RI 1998, dan dilanjutkan dengan UU No. 39 Tahun 1999. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut telah mengakomodir Universal Declaration of Human Right. Apa yang termuat dalam perubahan UUD 1945 (Pasal 28A s/d Pasal 28J) adalah merujuk pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut, dengan perumusan kembali secara sistematis.
Pada saat itu, perdebatan diantara kalangan anggota PAH I adalah apakah perlu ketentuan mengenai HAM yang sebenarnya sudah ada dalam ketetapan MPR dan undang-undang dicantumkan kembali dalam Perubahan UUD ini.Sebagian besar anggota PAH I dan pada akhirnya disepakati secara bulat bahwa ketentuan mengenai HAM ini perlu dicantumkan secara lengkap dalam UUD dan tidak cukup hanya diatur dalam ketetapan MPR dan undang-undang, dengan pertimbangan bahwa HAM adalah sesuatu yang sangat prinsip bagi jaminan terselenggaranya sebuah negara hokum dan ini sesuai dengan dengan pendapat Stahl bahwa penghormatan terhadap HAM adalah salah satu ciri atau prinsip negara hukum.
Kedua; Terjadi perdebatan panjang mengenai adanya kecurigaan dari sebagian anggota MPR bahkan sebagian anggota masyarakat kita bahwa konsep HAM yang bersumber dari barat, tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan prinsip-prinsip koletivitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, karena HAM yang berasal dari barat mengandung nilai-nilai kebebasan yang berdasarkan individualisme. Perdebatan mengenai masalah ini mencapai titik temu ketika disetujui adanya pembatasan HAM yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Karena itu, pemahaman terhadap Pasal 28J pada saat itu adalah pasal mengenai pembatasan HAM yang bersifat sangat bebas dan indvidualistis itu dan sekaligus pasal mengenai kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga kewajiban asasi. Karena itulah, dengan undang-undang, hak dan kebebasan yang telah dicantumkan dalam pasal-pasal sebelumnya dapat dibatasi dengan maksud semata-mata :
- untuk menjamin pengakuan serta penghormatan dan pembatasan terhadap hak dan kebebasan orang lain dan
- untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pada saat itu rumusan pasal 28I ayat (1) (yang terkenal dengan pasal retroaktif) hampir deadlock karena ada yang tidak setuju terhadap rumusan Pasal 28I ayat (1) itu. Akhirnya rumusan Pasal 28I ayat (1) dapat diterima dan disahkan dengan pengertian yang utuh dengan rumusan Pasal 28J. Jadi pasal 28I, tidak dapat ditafsirkan secara independen. Hal ini ditegaskan kembali dalam buku sosialisasi hasil Perubahan UUD yang dikeluarkan oleh MPR RI. Sedangkan kekhawatiran tidak terakomodirnya prinsip-prinsip kolektivitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama terjawab dengan rumusan bagian akhir dari pasal 28J itu. Berdasarkan pertimbangan itulah dalam hal-hal tertentu rektroaktive itu dimungkinkan sebagaimana yang diatur dalah undang-undang pengadilan HAM.
Ketiga; Pasal lain yang menyita waktu perdebatan dan loby yang melelahkan adalah rumusan Pasal 28E ayat (1). Terkait dengan “aliran kepercayaan”. Semula tiga baris pertama rumusan ayat (1) tersebut kata “dan kepercayaannya itu” setelah kata agama, yang mengikuti rumusan Pasal 29 ayat (2). Penambahan kata “kepercayaannya itu” ditentang oleh sebagian anggota dan meminta agar dua kata tersebut dihapuskan. Pada sisi lain anggota yang sangat keberatan dengan penghapusan dua kata itu, karena dua kata tersebut tercantum juga dalam pasal 29 ayat (2). Jalan keluar atas perbedaan ini yang disetujui bersama adalah mengenai aliran kepercayaan diakomodir pada ayat (2) Pasal 28E ini yaitu hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurananinya.
Keempat; Pasal-pasal lainnya mengenai HAM disetujui dengan tanpa perdebatan yang lama dan termasuk pasal-pasal perubahan UUD 1945 yang disetujui dengan mulus dibanding dengan perubahan pasal yang lainnya. Hanya ketiga soal itulah yang menjadi perdebatan panjang atas sepuluh pasal mengenai HAM ini di MPR pada saat itu. Selanjutnya ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan-ketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh negara. Karena itulah pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tuntutan untuk menegakkan hak asasi manusia sudah sedemikian kuat baik di dalam negeri maupun melalui tekanan dunia internasional, namun masih banyak tantangan yang dihadapi untuk itu perlu adanya dukungan dari semua pihak; masyarakat, politisi, akademisi, tokoh masyarakat, dan pers, agar upaya penegakan hak asasi manusia bergerak ke arah positif sesuai harapan kita
bersama.
Diperlukan niat dan kemauan yang serius dari pemerintah, aparat penegak
hukum, dan elit politik agar penegakan hak asasi manusia berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
Sudah menjadi kewajiban bersama segenap komponen bangsa untuk mencegah agar pelanggaran hak asasi manusia dimasa lalu tidak terulang kembali di masa sekarang dan masa yang akan datang.
3.2 Saran
Melihat seluruh kenyataan yang ada penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa HAM di Indonesia sangat memprihatinkan dan masih sangat minim penegakannya. Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi, hal itu bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti yang telah diuraikan di atas. Maka untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia perlu :
1. Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi
2. Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang
3. Sanksi yangtegas bagi para pelanggara HAM
4. Penanaman nilai-ilai keagamaan pada masyarakat
DAFTAR RUJUKAN
• Iben. Senin. 23-februari-2009. http://www.antaranews.com/view/?i=12...69&c=NAS&s=POL
• http://tv.kompas.com/content/view/14131/2/
• http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/10/hak-asasi-manusia-di-indonesia.html
• Duali Susno. Juli 2003. Praktik-Praktik Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dl Indonesia. 25-juni-2009. http://kontak.club.fr/index.htm.
• http://www.unhas.ac.id/lemlit/researches/view/163.html
• Rabu. 25- juni- 2009. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/11/29/0045.html
• Mulyana Budi. Good governance dan implementasi di Indonesia. 25-juni-2009. http://BudiMulyana.weblog
• Winarno. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta. PT Bumi Aksara
Rabu, 01 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar